Jumat, 01 Juli 2011

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID DARI DAUN TUMBUHAN PATIKAN KERBAU SEBAGAI MATERIAL AWAL SINTESIS SENYAWA ANTISEPTIK

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah sejak lama dilakoni oleh manusia. Tumbuhan merupakan gudang bahan kimia yang memiliki sejuta manfaat termasuk untuk mengobati berbagai macam penyakit, selain itu tumbuhan juga merupakan bahan baku obat tradisional yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di hutan tropis Indonesia terdapat 30.000 spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 200 spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri obat tradisional. Peluang pengembangan budidaya tanaman obat-obatan masih sangat terbuka luas sejalan dengan semakin berkembangnya industri jamu, obat herbal, fitofarmaka dan kosmetika tradisional. Tanaman obat didefenisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau ramuan obat-obatan.
Penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang membahayakan. Pendapat itu belum tentu benar karena untuk mengetahui manfaat dan efek samping obat tersebut secara pasti perlu dilakukan penelitian dan uji praklinis dan uji klinis.
Berdasarkan paparan di atas, salah satu tanaman yang memiliki potensi sebagai tanaman obat adalah patikan kerbau atau Euphorbia hirta. Patikan kerbau ini termasuk tanaman perdu yang tumbuh liar di berbagai tempat seperti kerbun, pekarangan rumah, area pekarangan dan sebagainya serta dapat tumbuh dengan mudah tanpa diperlukan perawatan khusus. Tanaman yang termasuk dalam family Euphorbiaceae ini dikatakan memiliki khasiat yang luar biasa dalam mengobati berbagai macam penyakit diantaranya; radang tenggorokan, bronkhitis, asma, disentri, radang perut; diare, kencing darah, radang kelenjar susu, payudara bengkak dan lain-lain.
Di daerah Lombok, daun patikan kerbau banyak dimanfaatkan sebagai obat luka Penggunaan patikan kerbau terbukti dapat membekukan darah dan menutup rapat luka pada kulit. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa patikan kerbau memiliki komposisi kimia bahan alam metabolit sekunder seperti, alkaloid, flavonoid, fenolik, monoterpenoid dan diterpenoid. Alkaloid diketahui banyak dimanfaatkan sebagai senyawa antimikroba yang memiliki bioaktifitas menghambat pertumbuhan mikroba pada suatu organisme.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui jenis senyawa dari golongan alkaloid yang memiliki bioaktifitas sebagai senyawa antiseptik.

2. Rumusan masalah
Pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana potensi daun tumbuhan patikan kerbau sebagai material awal sintesis senyawa antiseptik golongan alkaloid?
2. Dapatkah senyawa golongan alkaloid dari daun tumbuhan patikan kerbau berpotensi sebagai material awal sintesis senyawa antiseptik?
3. Jenis senyawa golongan alkaloid apa yang memiliki bioaktifitas sebagai senyawa antiseptik?
3. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui potensi daun tanaman patikan kerbau sebagai material awal senyawa antiseptik golongan alkaloid
2. Isolasi senyawa golongan alkaloid dari tanaman patikan kerbau sebagai zat antiseptic
3. karakterisasi jenis senyawa golongan alkaloid apa yang memiliki bioaktifitas sebagai senyawa antiseptik

4. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu wahana pembelajaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama berada dibangku kuliah.
2. Sebagai rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk memperkaya khasanah keilmuan dan pengembangan wawasan ilmiah bagi masyarakat pada umumnya dan ilmuan dalam arti khusus.
3. Melatih keterampilan peneliti di laboratorium sebagai mahasiswa calon ilmuan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tinjauan tentang tanaman obat
Tanaman obat didefenisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau ramuan obat-obatan. Ahli lain mengelompokkan tanaman berkhasiat obat menjadi tiga
kelompok, yaitu :
1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.
2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.
3. Tumbuhan obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan biokatif berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai bahan obat (Djauhariya, E. dan Hernani. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya. Jakarta.127 hlm).

Sedangkan Departemen Kesehatan RI mendefenisikan tanaman obat Indonesia seperti yang tercantum dalam SK Menkes No. 149/SK/Menkes/IV/1978, yaitu :
1. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu.
2. Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (precursor).
3. Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat.
Obat bahan alam Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu yang merupakan ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, obat herbal yaituobat bahan alam yang sudah melewati tahap uji praklinis, sedangkan fitofarmaka adalah obat bahan alam yang sudah melewati uji praklinis dan klinis (SK Kepala BPOM No. HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004).
Penyebaran informasi mengenai hasil penelitian dan uji yang telah dilakukan terhadap obat bahan alam harus menjadi perhatian bagi semua pihak karena menyangkut faktor keamanan penggunaan obat tersebut. Beberapa hal yang perlu diketahui sebelum menggunakan obat bahan alam adalah keunggulan dan kelemahan obat tradisional dan tanaman obat. Keunggulan obat bahan alam antara lain :
1. Efek samping obat tradisional relatif lebih kecil bila digunakan secara benar dan tepat, baik tepat takaran, waktu penggunaan, cara penggunaan, ketepatan pemilihan bahan, dan ketepatan pemilihan obat tradisional atau ramuan tanaman obat untuk indikasi tertentu.
2. Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat/komponen bioaktif tanaman obat.Dalam suatu ramuan obat tradisional umumnya terdiri dari beberapa jenis tanaman obat yang memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan efek kontradiksi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki.
3. Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Zat aktif pada tanaman obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder, sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi.
4. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degeratif. Perubahaan pola konsumsi mengakibatkan gangguan metabolisme dan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain diabetes (kencing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal, dan hepatitis. Sedangkan yang termasuk penyakit degeneratif antara lain rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambein/wasir) dan pikun (lost of memory). Untuk mengobati penyakit-penyakit tersebut diperlukan waktu lama sehingga penggunaan obat alam lebih tepat karena efek sampingnya relatif lebih kecil.
Di samping keunggulannya, obat bahan alam juga memiliki beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional antara lain : efek farmakologisnya lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai mikroorganisme. Upaya-upaya pengembangan obat tradisional dapat ditempuh dengan berbagai cara dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sehingga ditemukan bentuk obat tradisional yang telah teruji khasiat dan keamanannya, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta memenuhi indikasi medis, yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka. Untuk mendapatkan produk fitofarmaka harus melalui beberapa tahap
(uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan mengatasi kelemahan tersebut (Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar
Swadaya. Jakarta. 140 hlm).

1.2 Tinjauan tentang patikan kerbau



Patikan kerbau (Euphorbia hirta) merupakan suatu tumbuhan liar yang banyak ditemukan di daerah kawasan tropis. Di Indonesia tumbuhan Patikan kerbau dapat ditemukan diantara rerumputan tepi jalan, sungai, kebun-kebun atau tanah pekarangan rumah yang tidak terurus. Biasanya patikan kerbau ini hidup jadi satu dengan Patikan Cina (Euphorbia Prostrata, Ait) pada ketinggian 1 - 1400 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan patikan kerbau mampu bertahan hidup selama 1 tahun dan berkembang biak melalui biji. Patikan kerbau mempunyai warna dominan kecoklatan dan bergetah. Banyak pohonya memiliki cabang dengan diameter ukuran kecil. Daun Patikan kerbau mepunyai bentuk bulat memanjang dengan taji-taji. Letak daun yang satu dengan yang lain berhadap-hadapan. Sedang bunganya muncul pada ketiak daun. Patikan kerbau hidupnya merambat (merayap) di tanah (Anonim.2005)
Bunga patikan kerbau mempunyai susunan satu bunga betina dikelilingi oleh lima bunga yang masing-masing terdiri atas empat bunga jantan. Patikan kerbau mengandung beberapa unsure kimia dianttaranya : alkaloid, tannin, senyawa folifenol(seperti asam galat), flavonoid quersitrin, ksanthorharmin, asam-asam organic palmitat, oleat dan asam lanolat. Disamping itu patikan kerbau mengandung senyawa terpenoid, eufesterol, tarakserol, dan tarakseron serta khautsuk. Euphorbia memiliki getah di dalam batangnya. Nama lokal patikan kerbau adalah Fei Yan Cao (cina), amanpat chaiairiasi(india), gelang susu(Malaysia), patikan kerbau (Indonesia), nanangkalan (sunda), patikan kebo, patikan jawa(jawa), kak sekaan(Madura), sosononga, lobi-lobi(Halmahera)(Kusminarti,dkk.2008).
1.3 Tinjauan tentang senyawa alkaloid
Alkaloid adalah senyawa bahan alam yang mempunyai atom nitrogen yang bersifat basa pada strukturnya. Nama alkaloid diturunkan dari kata alkaline yang mendeskripsikan berbagai nitrogen yang bersifat basa. Alkaloid dihasilkan oleh berbagai mahluk hidup antara lain bakteri, jamur, tumbuhan, dan binatang. Berbagai alkaloid dapat dipurifikasi atau dimurnikan dari ekstrak kasarnya dengan metode ekstraksi asam-basa.dalam dunia medis dan kimia organic. Istilah alkaloid telah lama menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dalam penelitian yang telah dilakukan selama ini, baik untuk mencari senyawa alkaloid baru ataupun untuk penelusuran bioaktifitas. Secara organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan pahit, biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain daun-daunan, senyawa alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji, ranting, dan kulit kayu. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan Kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dewasa ini telah ribuan senyawa alkaloid yang ditemukan dan dengan berbagai variasi struktur yang unik. Mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit (Sudarma. 2008).
Alkoloid adalah kelompok besar senyawa organik alami dalam hampir semua jenis organisme berbagai efek farmakologi yang ditimbulkan seperti antikanker, antiinflamasi dan antimikroba. Alkoloid bersifat basa, di alam berada sebagai garam dengan asam-asam organik. Adanya sifat basa ini mempermudah memisahkan ekstrak total alkaloid dari komponen lainnya (Herborne, 1987). Harborne, J B. 1987. Metode Fitokimia. ITB, Bandung.
1.4 Tinjauan tentang metode isolasi alkaloid
Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi. Umumnya kita perlu membunuh jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis. Mencemplungkan jaringan daun segar atau bunga , bila perlu dipotong-potong , kedalam etanol mendidih adalah suatu cara yang baik untuk mencapai tujuan itu. Selanjutnya bahan dapat dimaserasi dalam suatu pelumat, lalu disaring. Tetapi hal ini hanya betul-betul diperlukan bila kita ingin mengekstraksi habis. Metode umum pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari empat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik tersebut adalah kromatografi kertas, KLT, kromatografi gas cair, dan HPLC(kromatografi cair kinerja tinggi) (Herborne, 1987).


1.5 Tinjauan tentang spektroskopi
1.5.1 Spektroskopi UV-Vis
Absorpsi cahaya ultraviolet (UV) dan tampak digunakan untuk penentuan struktur, absorpsi cahaya tampak menghasilkan penglihatan (vision). Panjang gelombang UV-Vis jauh lebih pendek daripada panjang gelombang inframerah. Absorpsi UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan transisi berenergi tinggi.transisi ini memerlukan 40-300kkal/mol. Energi yang terserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya atau tersalurkan dalam reaksi kimia(misalnya isomerisasi atau reaksi radikal bebas).
1.5.2 Spektroskopi FT-IR
Instrument yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofotometer infra merah. Para ahli kimai telah mempelajari ribuan spektra infra merah dan menentukan panjang gelombang absorpsi masing-masing gugus fungsi. Setiap gugus fungsi memiliki spektra pada panjang gelombang yang khas sesuai dengan yang tertera pada peta kolerasi.
1.5.3 Spektroskopi GC-MS
Dalam sebuah spectrometer massa yang khas, fragmen bermuatan positif akan terdeteksi. Spektrum massa adalah alur kelimpahan (abundance, jumlah fragmen bermuatan relatif positif yang berlainan)versus nisbah massa/muatan(m/e atau m/z)dari fragmen-fragmen itu. Muatan ion dari kebanyakan partikel yang dideteksi dalam suatu spektromassa adalah +1. nilai m/e untuk suatu ion semacam ini sama dengan massanya. Oleh karena itu, secara praktis spektrum massa ialah suatu rekaman dari massa partikel versus kelimpahan relatif partikel itu(Fessenden. 1986).


BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Jenis penelitian
Berdasarkan judul penelitian yaitu isolasi dan identifikasi senyawa alkaloid dari daun tumbuhan patikan kerbau sebagai material awal sintesis senyawa antiseptik, maka penelitian ini bersifat eksperimental.
1.2 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan juli hingga september di laboratorium kimia dasar lantai 2 Universitas Mataram
1.3 Persiapan bahan (Simplisia)
Daun tanaman patikan kerbau di peroleh dari areal persawahan desa Jempong Baru Mataram, sebanyak 200 gram daun segar patikan kerbau ditimbang dan dikeringkan selama 2 – 3 hari, untuk menghilangkan kadar air.
1.4 Alat dan bahan
Alat
- Seperangkat alat gelas
- Rotary evaporator
- Seperangkat alat kromatografi kolom
- Bejana kromatografi lapis tipis (KLT)
- Spektrometer GC-MS
- Spektrometer UV-Vis
- Spektrometer FT-IR
Bahan
- 200 gr Simplisia daun patikan kerbau(Euphorbia hirta)
- Berbagai pelarut organik; Methanol, DCM, etilasetat, kloroform, n-heksana
- Beberapa pereaksi ; CeSO4, Dragendorff,
- Silika gel 60 merck (0.063-0.200 mm), plat silika kiesel 60 F254
- aquadest

1.5 Prosedur kerja
1.5.1. Ekstraksi dan Pengujian Ekstrak
 Sampel daun patikan kerbau (Euphorbia hirta) dimaserasi (perendaman dalam pelarut) dengan pelarut n-heksana selama 2 x 24 jam.
 Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak yang kental (30-400C)
 Ekstrak kental kemudian diuji dengan metode kromatografi lapis tipis(KLT) menggunakan pelarut pengembang DCM : etilasetat (4:1), pereaksi penampak noda CeSO4 dan Dragendorff
 Diamati dibawah sinar UV

1.5.2. Isolasi dan Fraksinasi
 Ekstrak kental n-heksana difraksinasi dengan metode kromatografi kolom menggunakan beberapa sistem pelarut yaitu heksana : DCM (1:1), DCM : etilasetat (4:1 dan 1:1), etil asetat, dan methanol. Fase diamnya adalah serbuk silika gel 60 merck (0.063-0.200 mm)
 Semua fraksi hasil fraksinasi di refraksinasi dengan metode Kromatografi kolom yang sama seperti diatas, hingga diperoleh senyawa alkaloid murni dan berbentuk kristal.
 Analisis dengan metode KLT menggunakan sistem pelarut n-heksana : etilasetat (3:2 ; 7:2), Pereaksi penampak noda CeSO4 dan Dragendorff


1.5.3. Analisis Spektroskopi
 Isolat dianalisis dengan metode spektroskopi ultraungu-tampak, infra merah dan spektroskopi massa (GC-MS). Analisis spektroskopi ultraungu-tampak digunakan untuk mengidentifasi gugus fungsi dari ikatan rangkap terkonjugasi, spektroskopi infra merah dilakukan untuk mengetahui lebih lengkap tentang gugus-gugus fungsi lain yang terdapat dalam senyawa tersebut, dan metoda spektrsokopi massa untuk mengetahui bobot molekul senyawa yang dihasilkan dan pola fragmentasinya yang akan membimbing ke struktur senyawa tersebut

Studi Potensi Senyawa Alkaloid pada Ektrak Brotowali (Tinospora crispa) Sebagai Material Awal Obat Antibiotik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bakteri patogen merupakan salah satu agen potensial penyebab infeksi penyakit, karena memiliki kemampuan mengeluarkan toksin atau enzim yang secara fisik merusak fungsi sel (Bonang, 1997). Penyakit akibat infeksi bakteri patogen dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan laporan WHO, sekitar 17 juta orang meninggal setiap tahun akibat infeksi bakteri (Haug, 2008). Di Indonesia, Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumonia menyebabkan infeksi dengan tingkat kematian masing-masing mencapai 63% dan 50% (Martono, 2007). Selain itu, Salmonella thypi menyebabkan lebih dari 47.500 kasus tifus setiap tahun dan data terbaru menyebutkan, penyakit diare dan pneumonia menduduki urutan teratas penyebab kematian pada anak-anak (Unjianto, 2008). Tingginya bahaya infeksi bakteri menyebabkan perlunya pengobatan yang lebih efektif dan aman.
Tumbuhan obat di Indonesia jumlahnya cukup melimpah, hanya sebagian kecil yang telah diteliti orang, namun sudah banyak yang digunakan dalam pengobatan tradisional. Oleh karena data ilmiah tumbuhan obat tersebut belum diketahui dengan jelas serta efikasinya sebagai obat belum terbukti secara merata, maka hingga sekarang belum dapat diterima dalam pengobatan modern (Zubaidi, 1990 dalam Attamimi et al., 2001)
Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional cukup banyak, hal ini terlihat dari peningkatan ekspor simplisia biofarmaka ke berbagai negara tujuan. Pada tahun 2001, total nilai dagang biofarmaka dunia mencapai US$ 45 milyar dan meningkat menjadi US$ 5 triliun pada tahun 2005, dimana konstribusi ekspor biofarmaka Indonesia baru sekitar 0,22 % saja (Pharmacy Business, 2007 dalam ulfa et al., 2007).
Peningkatan penggunaan fitofarmaka (obat herbal) oleh masyarakat karena konsep back to nature yang ditawarkan memberikan kesan aman dikonsumsi disamping harganya yang terjangkau dan khasiatnya diyakini ampuh sejak zaman nenek moyang (ulfa, 2007).
Salah satu tumbuhan obat tradisional yang sering digunakan masyarakat adalah brotowali (Tinospora crispa) termasuk ke dalam family Menispermaceae. Tumbuhan ini berasal dari Asia Tenggara, misalnya di Indo Cina, Semenanjung MeIayu, Filipina dan Indonesia (Jawa, BaIi, Ambon). Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah pantai sampai dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut.
Brotowali secara tradisional banyak digunakan masyarakat, maka diduga brotowali dapat menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai material obat, khususnya sebagai antibiotik. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai senyawa metabolit sekunder yang dikandung tanaman tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Hal yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1.2.1 Bagaimana potensi tamanam brotowali untuk dijadikan sebagai material simplisia obat antibiotik.
1.2.2 Adakah Senyawa golongan alkaloid yang terkandung dalam ekstrak brotowali yang dapat digunakan sebagai bahan baku simplisia obat antibiotik.
1.2.3 Bagaimana daya antibiotik senyawa alkaloid dari ektrak tanaman brotowali.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengungkap potensi tanaman asli yang berkhasiat obat tradisional sebagai material sintesis obat modern, khususnya antibiotik.
1.3.2 Ingin mengetahui kandungan senyawa metabolit skunder golongan alkaloid yang dihasilkan tanaman brotowali yang berkhasiat obat antibiotik.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain dapat berfungsi sebagai informasi awal tentang kandungan senyawa metabolit skunder dari tanaman brotowali yang memiliki potensi khasiat antibiotik, disamping itu juga menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai pemanfaatan maupun sistesis obat dari tanaman brotowali (Tinospora crispa).

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Brotowali (Tinospora crispa)

Gambar 1. Brotowali (Tinospora crispa)
Brotowali disebut Tinospora crispa (L.) Miers, atau Tinosporarumphii atau Tinosporatuberculata termasuk kedalam famili tumbuhan Menispermaceae (www.tanamanobat.com).
Berikut klasifikasi ilmiah tanaman brotowali:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermathophyta
Sub division : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Tinospora
Species : Tinospora crispa (L.) Miers (anonim, 2009)
2.2. Morfologi tanaman brotowali (Tinospora crispa)
Brotowali merupakan tumbuhan yang tumbuh liar di hutan, ladang atau kita juga bisa menanamnya. Brotowali sangat suka pada tempat yang panas, tumbuhan ini termasuk perdu dan memanjat. Memiliki tinggi batang hingga 2,5 m dengan besar batang sebesar jari kelingking, berbintil-bintil rapat dan memiliki rasa yang pahit. Tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan daun tunggal, bertangkai, dengan bentuk daun seperti jantung atau agak mirip seperti bundar telur berujung lancip, dengan panjang daun 7-12 cm dan lebar 5-10 cm. Bunganya berukuran kecil, dengan warna hijau muda dengan bentuk tandan semu. Tumbuhan ini juga dapat diperbanyak dengan cara stek (www.hidupherbal.com).
2.3. Brotowali Sebagai Obat Tradisional
Tumbuhan brotowali (Tinospora crispa) telah lama digunakan untuk pengobatan. Kemudian diinformasikan bahwa ekstrak kasar tumbuhan ini berkhasiat sebagai antimalaria, antipiretika, antidiabetes, antiinflamasi dan analgetik (zambrut dkk, 2001)
Suatu suku di kalimantan, secara tradisional menggunakan Tinospora crispa untuk mengobati diabetes, hipertensi, dan sakit pinggang, di thailand secara tradisional digunakan dalam pengobatan tradisional, Tinospora crispa adalah salah satu komposisi dari obat rakyat thailand dalam mempertahankan kesehatan (Anthony C., Jean-Pierre Cavin, 2009)
2.3 Alkaloid
Senyawa alkaloid adalah salah satu senyawa yang paling banyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luar dalam berbagai jenis tumbuhan. Alkaloid adalah senyawa bahan alam yang mempunyai atom nitrogen yang bersifat basa pada strukturnya. Nama alkaloid diturunkan dari kata alkaline yeng mendeskripsikan berbagai nitrogen yang bersifat basa (sudarma, 2009).
Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan. Alkaloid biasanya tak berwarna, seringkali bersifat aktif optik kebanyakan berbentuk kristal pada suhu kamar. Prazat alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis kebanyakan asam amino lebih rumit. Secara kimia alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa diantaranya dari segi biosintesis merupakan terpenoid termodifikasi alkaloid lain terutama berupa senyawa atomatik dengan gugus basa sebagai rantai samping (Harborne, 1987)
2.3.1 Aktivitas Biologis Alkaloid
Alkaloid menghasilkan zat antimikrobial yang sangat signifikan pada Escherichia Coli, Staphylococus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia, prot eus vulgaris , Bacillus subtilis dan Candida Albicans (OKORO, Azubuike Gabriel, 1989). Beberapa senyawa alkaloid juga memiliki aktivitas anti kanker, yaitu alkaloid seperti vinblastine (VLB), vincristine (VCR), leurosine (LR), vincadioline, leurodisine, dan catharanthine. Alkaloid yang berefek menurunkan kadar gula, antara lain leurosine, catharanthine, lochnerine, tetrahydroalstonine, vindoline, dan vindolinine (http://jyotish-indonesia.com).
2.4 Pemisahan dengan Fraksinasi
2.4.1 Fraksinasi KLT
Khromatografi lapis tipis merupakan alat analisa yang cukup sederhana karena dapat menentukan jumlah komponen yang ada pada suatu bahan, bahkan dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen tersebut. Disamping itu alat ini juga sangat ideal untuk memonitor progres suatu reaksi, untuk mengobservasi khromatografi kolom, untuk menentukan kemurnian hasil kristalisasi dan destilasi. (Sudarma, 2005).
Media pemisahannya adalah lapisan dengan ketebalan sekitar 0,1 sampai 0,3 mm zat padat absorben pada lempeng kaca, plastik, atau aluminium. Lempeng yang paling umum digunakan berukuran sekitar 8 x 2 inci. Dan zat padat yang umum digunakan adalah alumina, gel silika dan selulosa (R.A. Day & Underwood, 1994).
2.4.2. Fraksinasi Kolom Kromatografi
Khromatografi kolom merupakan teknik untuk memisahkan zat zat dalam jumlah yang agak besar. Pemisahan ini didasarkan pada polaritas relatif dari suatu molekul. Gelas kolom diisi dengan bubuk material seperti silica gel atau alumina didalam pelarut organik. Zat yang akan dianalisa atau dipisahkan dilarutkan terlebih dahulu dan diaplikasikan pada permukaan silica gel dan eluen didrainasikan pada kom tersebut. Carian yang didrainasikan melalui kolom ini dikoleksi atau ditampung sebagai serial fraksi pada wadah yang berbeda. Pemberian eluen terus dilakukan sampai semua zat yang dipisahkan pada kolom terelusi oleh pelarut (sudarma, 2005)
Kecepatan zat zat yang dipisahkan terelusi pada kolom tergantung dari polaritas zat-zat tersebut, polaritas silika dan alumina, dan polaritas dari pelarut yang dipergunakan sebagai eluen. Zat-zat yang terikat kuat oleh alumina atau silika dengan sistem eluen yang tidak begitu polar akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengelusinya, tapi sebaliknya kalau diberikan eluen yang agak polar maka waktu untuk mengelusinya akan semakin singkat. Zat-zat yang dipisahkan akan membentuk band atau gelombang pada kolom, beberapa gelombang ini ada yang nampak ada juga yang tidak. Gelombang-gelombang ini akan bergerak turun pada kolom bersamaan dengan turunnya solvent atau eluen (sudarma, 2005).
2.5. Tinjauan Tentang Beberapa Bakteri Patogen
2.5.1. Eschericia coli
Bakteri yang mendekati genus ini mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: berbentuk batang pendek (kokobasil), gram negatif, tidak membentuk spora, bersifat anaerob fakultatif dan mempunyai flagela peritrik. Sel E. coli mempunyai ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm tersusun tunggal, berpasangan dengan flagella peritrikus. E. Coli tumbuh pada suhu antara 10-40 oC, dengan suhu optimum 37 oC, pH optimum pertumbuhannya antara 7,0-7,5, pH minimum pada pH 9,0.
Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri gram negatif yang umumnya ditemukan pada salauran pencernaan hewan, termasuk juga manusia. Penyebaran bakteri ini juga meliputi tanah dan air. Bakteri ini masuk kedalam anggota kelompok famili Enterobacteriaceae. E. coli dapat berkembang dan bertahan hidup pada kondisi ketersediaan oksigen maupun kekurangan oksigen (Madigan, et al., 2000).
Escherichia coli merupakan salah satu bakteri penyebab penyakit pada sapi selain itu bakteri ini dapat terbawa ke dalam daging segar dan mungkin bertahan selama proses pengolahan (Siagian, 2002).
2.5.2. Pseudomonas aeruginosa
Bakteri yang mendekati genus ini mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: Gram negatif, dan terlihat sebagai bentuk tunggal, ganda dan kadang-kdang dalam rantai pendek, berbentuk batang, ukurannya 0,6 x 2 µm, motil, oksidase positif, tumbuh baik pada 37-42 oC. P. aeruginosa bersifat aerobik obligat, kadang memproduksi bau manis, beberapa galur menghemolisis darah. P. aeruginosa membentuk koloni bulat halus dengan warna fluoresen kehijauan. Juga sering memproduksi pigmen kebiruan dan tidak fluoresen. Juga dapat memproduksi berbagai kelompok koloni, memberikan kesan biakan campuran beberapa spesies bakteri (Jawetz, dkk., 2005).
Infeksi Pseudomonas yang serius sering terjadi di rumah sakit dan bakteri biasanya ditemukan di tempat yang lembab, seperti bak cuci dan wadah air kemih. Bahkan organisme ini ditemukan dalam cairan antiseptik tertentu.
Infeksi paling serius terjadi pada orang yang sistem kekebalannya terganggu, baik karena pengobatan maupun penyakit. Pseudomonas bisa menginfeksi darah, kulit, tulang, telinga, mata, saluran kemih, katup jantung dan paru-paru.
Luka bakar juga bisa terinfeksi oleh Pseudomonas, menyebabkan infeksi darah yang sering berakibat fatal (Anonim, 2004).
2.5.3. Stapylococcus aureus
Bakteri yang mendekati genus ini mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: warna koloni putih susu atau agak krem, bentuk koloni bulat, tepian timbul, sel bentuk bola, diameter 0,5-1,5 µm, terjadi satu demi satu, berpasangan, dan dalam kelompok tidak teratur, Gram positif, tidak motil, katalase positif, oksidase negatif, metil red positif, tumbuh optimum pada suhu 30-37 oC dan umbuh baik pada NaCl 1-7% (Isrina et al., 2005).
Menurut Holt et al., (1994) dalam Isrina, et al., (2005), bakteri Staphylococcus sp. Gram positif, tidak berspora, tidak motil, fakultatif anaerob, kemoorganotrofik, dan metabolisme fermentatif. Koloni biasanya buram, bisa putih atau krem dan kadang-kadang kuning keorange-orangean. Bakteri ini katalase positif dan oksidase negatif, sering mengubah nitrat menjadi nitrit. Biasanya tumbuh dengan 10% NaCl. Sebagian besar terdapat pada kulit dan mukosa membran dari vertebrata berdarah panas. Akan tetapi sering diisolasi dari produk makanan, debu dan air. Beberapa spesies ada yang patogen pada manusia dan hewan.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi dan kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi Staphylococcus aureus. Swart et al., (1984) dalam Isrina, et al., (2005) melaporkan bahwa Staphylococcus aureus merupakan patogen utama yang sering menyebabkan mastitis subklinis dan kronis. Agus, (1991) melaporkan bahwa diantara 56 ekor sapi perah di peternakan sapi perah Baturaden, 41 ekor (73,2%) menderita mastitis subklinis, dan 9,1% diantaranya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
2.5.4. Bacillus cereus
Bakteri yang mendekati genus ini mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: warna koloni putih susu atau agak krem, bentuk koloni bulat dengan tepian keriput. Sel adalah bentuk batang dan lurus, berukuran 0,5-2,5 x 1,2-10 µm, dan sering tersusun dalam bentuk sepasang atau rantai, dengan ujung bundar atau empat persegi. Gram posiift, motil, katalase dan oksidase positif, metil red negatif, optimum pada suhu 30-37 oC dan tumbuh baik pada NaCl 1-3%. Bakteri ini memiliki endospora berbentuk oval, kadang-kadang bundar atau silinder dan sangat resisten pada kondisi yang tidak menguntungkan. Mereka tidak lebih dari satu spora per sel dan sporulasi tidak tahan pada udara terbuka. Bakteri ini bersifat aerobik atau fakultatif anaerobik. Kemampuan fisiologi beragam; sangat peka terhadap panas, pH dan salinitas; kemoorganotrof dengan metabolisme fermentasi (Feliatra, dkk., 2004).
B. Cerus merupakan penyebab penting dari infeksi mata, kreatitis berat, endoftalmitis, dan panoftalmitis, serta berhubungan dengan beberapa infeksi baik lokal maupun sistemik. Bakteri ini dapat tumbuh dalam makanan dan dapat menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan (Jawetz, dkk., 2005). Bahan pangan potensial terinfeksi B. cerus antara lain serealia, makanan kering, produk-produk susu, daging (Siagian, 2002).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif eksperimental, yaitu mengisolasi senyawa alkaloid dari tumbuhan brotowali (Tinospora crispa) anggota genus Euphorbiaceae berdasarkan pada sejumlah karakteristik morfologi tumbuhan tersebut. Dan menganalisa potensi senyawaan alkaloid pada tanaman brotowali (Tinospora crispa) sebagai bahan simplisisa berkhasiat obat.
3.2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah bagian batang dari tumbuhan brotowali (Tinospora crispa) yang diperoleh desa batunyala. Sampel tumbuhan berupa batang sebanyak seratus gram (berat kering) yang sebelumnya dikeringkan dengan diangin-anginkan dan ditumbuk halus, baru kemudian diisolasi senyawa alkaloidnya
3.3. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Mataram. Penelitian ini dimulai pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2009.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data untuk penelitian ini berupa isolasi senyawa alkaloid dari tamnaman sampel, kemudian dianalisa potensi senyawaan tersebut untuk dijadikan obat antibiotik. Sedangkan pengumpulan data untuk uji antibakteri dilakukan dengan mengukur diameter zona hambatan yang terbentuk dari uji ekstrak tanaman brotowali terhadap beberapa bakteri patogen gram positif dan gram negatif.

3.5. Alat dan Bahan Penelitian
3.5.1. Alat-Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah: corong pisah, chamber, plat klt, erlenmeyer, gelas ukur, pipet volum, gelas kimia, rotavor.
3.5.2. Bahan-Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia batang tumbuhan brotowali (Tinospora crispa), DCM, etil asetat,plat KLT dan pereaksi Dragendroff.
3.6. Prosedur Penelitian
Penelitian terhadap tanaman brotowali (Tinospora crispa) meliputi: ekstraksi alkaloid, dan uji antibiotik senyawaan alkaloid dari tanaman brotowali.
3.6.1. Poses ekstraksi alkaloid
Sampel batang brotowali sebanyak 100 gram dipotong-potong dan dimaserasi dengan larutan 10% asam asam asetat dalam metanol sebanyak 400 ml selama 2 x 24 jam. Maserat yang didapatkan difiltrasi kemudian dipekatkan dengan rotavor. Setelah dipekatkan larutan dibasifikasi dengan larutan NaOH encer sampai kira-kira pH 9. Maserat yang sudah dibasifikasi dieksrtrak dengan n-heksan. Ekstrak kemudian dianalisis dengan KLT menggunakan pereaksi Dragendorff sebagai analisa awal adanya alkaloid. ekstrak yang didapatkan kemudian menjalani proses pemurnian. Metoda yang digunakan adalah kromatografi kolom dengan elusi landaian menggunakan sistem pelarut: heksana: DCM : EtAst (4:1). Fraksi-fraksi hasil pemisahan kolom dianalisa dengan KLT dengan pereaksi dragendrof sebagai indikator alkaloid. Fraksi-fraksi yang positif alkaloid di refraksinasi untuk mendapatkan senyawaan alkaloid yang lebih murni dengan pelarut yang digunakan adalah DCM : EtAst (19:1, 9:1). Dari proses ini fraksi-fraksi yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metoda KLT yang sama. Senyawa alkaloid terdapat pada fraksi-fraksi ini disatukan, dipekatkan dan ditimbang, kemudian diuji daya antibiotiknya terhadap bakteri.
3.6.3. Uji antibiotik terhadap bakteri uji
Uji ini dilakukan dengan penanaman bakteri uji Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus pada cawan petri berbeda pada media MHA yang sudah memadat dengan metode sebar menggunakan alat kaca spreader. Kemudian bakteri uji diinkubasi selama 5-10 menit dalam inkubator. Setelah itu media diberi sumuran dengan diameter 0,7 mm dan dimasukkan ekstrak botowali sebanyak 50 µl, kemudian diinkubasikan pada suhu 30oC selama 24-48 jam. Masing-masing ekstrak yang terdapat zona jernih diukur diameternya hambatannya terhadap bakteri.


Daftar Pustaka

Adek Zambrut A*, Desy M. Gusmali*: M. Husni Mukhtar*, 2001, Aktivitas AntimalariaSenyawa Tinokrisposid secara in vivo, Pusat Penelitian dun Pengembangarz Fannasi, Badan Penelitian dun Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim, 2004. Infeksi Pseudomonas. http//www.medicastore.com. Diakses tanggal 7 oktober 2007 pukul 15.33 Wita.
Anthony C. Dweck FLS FRSC FRSH Technical Editor and Jean-Pierre Cavin Managing Director E.U.K. Brotowali (Tinospora crispa) – a review
Bonang, G. 1997. Infeksi "Rumah Sakit" Mengancam Pasien. Didownload dari http://www.indomedia.com.Tanggal 5 September 2008, pukul 16.00 WITA.
Feliatra, Efendi, I., Suryadi, E., 2004. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik dari Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam Upaya Efisiensi Pakan Ikan. Jurnal Natur Indonesia 6(2): 75-80 (2004). Diakses dari http://www.unri.ac.id/jurnal tanggal 23 Januari 2007
Harborne. I.B., 1987. "Metode Fitokimia" , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung,
http://www.tanaman-obat.com/index.php/gallery-tanaman-obat/73-b-r-o-t-o-w-a-l-i. Diakses tanggal 11 maret 2009. Pukul 07.48 wita.
http://www.succulent-plant.com/families/euphorbiaceae.html. diakses tanggal 11 Maret 2009. Pukul 07.48 wita.
http://jyotishindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=109 & Itemid = 119. Diakses tanggal 16 maret 2008. Pukul 21.00 wita
Isrina, S.O., Haryadi, M.W, Wibowo dan Khusnan, 2005. Karakterisasi Fenotipe Isolat Staphylococcus aureus dari Sampel Susu Sapi Perah Mastitis Subklinis. J. Sain Vet. Vol. 23 No. 2 Th. 2005.
Jawetz, E., J.C Melnick and E.A Adelberg, 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika. Jakarta
Madigan, Michael T., John M. Martinko, and Jack Parker. Brock Biology of Micro-organisms, diakses dari. http://www.bookrags.com/ diakses tanggal 26 Januari 2007.
Okoro, Azubuike Gabriel, 1989, Extraction, Purification and Antimicrobial Activities of Quaternary Alkaloids of the Plant Sphenocentrum Jollyanum Pierre, University of Nigeria.
Siagian, Albiner, 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan Dan Sumber Pencemarannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, http://library.usu.ac.id/modules diakses tanggal 10 Januari 09.30.
Sudarma, Made. 2005. Teknik-Teknik Dasar Khomatografi Untuk Mengisolasi Dan Menganalisa Senyawa Bahan Alam Dan Komersial. Mataram.

KAJIAN TEKNOLOGI PENGERINGAN TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI PULAU LOMBOK

KAJIAN TEKNOLOGI PENGERINGAN TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI PULAU LOMBOK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sangat membutuhkan bahan makanan yang tentunya mengandung nutrisi/gizi yang lengkap untuk kelangsungan hidupnya, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin guna menciptakan kondisi sehat pada manusia. Di mana, sehat adalah suatu kondisi di mana semua fungsi tubuh dan ingatan seseorang dapat melaksanakan aktivitasnya secara normal. Menurut WHO, seseorang dinyatakan sehat apabila ia sepenuhnya berada dalam keadaan sehat fisik, mental maupun sosial. Kaitan gizi dan kesehatan di sini ditekankan pada hubungan gizi dan kesehatan fisik (Poedjiadi, 2007).
Vitamin, walaupun hanya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit tapi sangat memegang peranan yang penting bagi tubuh dan biasanya diperoleh dari makanan yang dikonsumsi. Salah satunya yaitu vitamin C, vitamin ini banyak terdapat dalam buah dan sayuran, misalnya pada cabai.
Cabai (Capsicum sp) pada dasarnya terdiri atas dua golongan utama yaitu cabai besar (C annum L) dan cabai rawit (C frutescens L). Cabai besar terdiri atas cabai merah (hot pepper), caba hijau dan paprika (sweet pepper) (Frajnanta, 2003).
Cabai rawit rasanya pedas, sifatnya panas, masuk meridian jantung dan pankreas. Tumbuhan ini berkhasiat tonik, stimultan kuat untuk jantung dan aliran darah, antirematik, menghancurkan bekuan darah (antikoagulan), meningkatkan nafsu makan (stomakik), perangsang kulit (kalau digosokkan ke kulit akan menimbulkan rasa panas, jadi digunakan sebagai campuran obat gosok), peluruh kentut (karmionatif), peluruh keringat (diaforetik), peluruh liur dan peluruh kencing. Buahnya mengandung kapsaisin, karotenoid, alkaloid asiri, resin, minyak menguap, vitamin A dan C. Kapsaisin memberikan rasa pedas pada cabai, berkhasiat untuk melancarkan aliran darah serta pemati rasa kulit. Biji mengandung solanine, solamidine, solamargine, solasodine, solasomine dan steroid saponin (kapsisidin). Kapsisidin berkhasiat sebagai antibiotic (http//www. \Pusat Data & Informasi PERSI.htm).
Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang sangat dibutuhkan oleh tubuh karena fungsinya yang sangat banyak untuk kelangsungan hidup manusia. Di mana salah satu sumber vitamin C yang sering sekali kita konsumsi yakni cabai rawit. Cabai rawit sangat banyak digemari karena rasanya yang lebih pedas dibandingkan dengan cabai merah biasa sehingga banyak petani yang tertark dengan membudidayakannya karena harganya juga yang relatif mahal. Namun, sifat cabai yang tidak begitu tahan lama untuk disimpan menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam proses pendistribusiannya sehingga takutnya akan menyebabkan kerugian yang besar pada banyak petani. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mencoba untuk memproduksi cabai kering. Tapi yang menjadi permasalan yaitu, metode pengeringan yang bagamanakah yang harus dilakukan untuk mendapatkan cabai rawit kering yang kandungan gizinya salah satunya vitamin C yang ada pada cabai tidak rusak? mengingat berbagai macam perlakuan yang biasanya digunakan oleh masyarakat.
Pengeringan merupakan cara yang paling sering digunakan untuk memperpanjang masa simpan cabai rawit, di mana pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air dari bahan yang ingin dikeringkan dengan cara penguapan. Namun, ada berbagai macam pengeringan tradisional yang masih dilakukan hingga saat ini oleh masyarakat, baik dengan hanya menjemur cabai rawit di tengah terik matahari atau hanya mengangin-anginkan saja hingga kering. Oleh karena itu, perlu diadakannya penelitian terhadap berbagai teknologi yang diterapkan oleh masyarakat terhadap kadar vitamin C pada cabai rawit.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Teknik pengeringan bagaimanakah yang harus dilakukan untuk mempertahankan kadar vitamin C optimal pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) di Pulau Lombok?
2. Berapakah lama pengeringan pada tiap teknik pengeringan yang diperlukan untuk mempertahankan vitamin C optimal pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) di Pulau Lombok?
3. Apakah pengaruh banyaknya kadar vitamin C pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap tiap perlakuan yang digunakan ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui teknik pengeringan yang harus dilakukan dalam mempertahankan kadar vitamin C optimal pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) di Pulau Lombok.
2. Untuk mengetahui lama pengeringan optimal pada tiap teknik pengeringan yang harus dilakukan dalam mempertahankan kadar vitamin C pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) di Pulau Lombok.
3. Untuk mengetahui pengaruh banyaknya kadar vitamin C pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap tiap perlakuan yang digunakan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat mengetahui teknik pengeringan yang harus dilakukan dalam mempertahankan kadar vitamin C optimal pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) di Pulau Lombok..
2. Dapat mengetahui lama pengeringan optimal pada tiap teknik pengeringan yang harus dilakukan dalam mempertahankan kadar vitamin C pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) di Pulau Lombok.
3. Dapat mengetahui pengaruh banyaknya kadar vitamin C pada cabai rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap tiap perlakuan yang digunakan.
4. Sebagai bahan informasi dan bahan pertmbangan bagi masyarakat yang bergerak di bidang agribisnis dalam mempertahankan mutu/kualitas sayur-sayuran yang disimpan dalam waktu yang relatif lama atau tidak langsung dikonsumsi setelah panen.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Cabai Rawit
Cabai rawit atau cabe rawit, adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Selain di Indonesia, ia juga tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang. Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varitas cabai lainnya, ia dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000 - 100.000 pada skala Scoville. Cabai rawit biasa di jual di pasar-pasar bersama dengan varitas cabai lainnya (http://toiusd.multiply.com/journal).




Gambar 2.1 Cabai Rawit segar
Klasifikasi dari cabe rawit adalah sebagai berikut (http://www.plantamor.com/index):
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L.
Bunga cabai termasuk bunga sempurna, berdiri tunggal atau berkelompok pada ketiak daun. Tiap bunga terdiri atas lima daun buah dan lima sampa enam daun mahkota yang berwarna putih dan ungu. Putik berwarna putih dengan kepala bulat, benang sari terdiri atas lima sampai enam buah dengan kepala sari berbentuk lonjong. Buah cabai berbentuk bulat sampai bulat lonjong, umumnya letak buah cabai menggantung. Pada waktu massih muda buahnya berwarna hijau, putih kekuningan atau ungu sedangkan buah yang telah tua umumnya berwarna kuning sampai merah dengan aroma yang berbeda-beda sesuai dengan varietasnya (Sunaryono, 1989).
Menurut Cahyono (2004), komposisi setiap 100 gram cabai rawit segar ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi gizi buah cabai rawit segar dalam 100 gram
No Kompsisi Jumlah
1 Kalori 103 kal
2 Protein 4,7 g
3 Lemak 2,4 g
4 Karbohidrat 19,9 g
5 Kalsium 45 mg
6 Fosfor 85 mg
7 Zat besi 2,5 mg
8 Vitamin A 11,051 SI
9 Vitamin B1 0,24 mg
10 Vitamin B2 -
11 Vitamin C 70 mg
12 Niasin -
13 Air 71,2 g

Capsicum frutescens merupakan tanaman perdu dengan tinggi antara 50 cm sampai 150 cm. Di Jawa lebih dikenal dengan nama cabe rawit. Adapun ciri-ciri morfologi tanaman ini, yaitu: batangnya berbiku-biku atau bagian atasnya bersudut, dan tidak berbulu. Daunnya berbentuk bundar telur sampai lonjong atau bundar telur meruncing, 1 cm sampai 12 cm. Tidak berbulu atau 2 sampai 3 bunga letaknya berdekatan. Mahkota bunga berbentuk bintang, berwarna putih, putih kehijauan atau kadang-kadang ungu. Mempunyai garis tengah 1,75 mm sampai 2 mm dan kelopak bunga berbulu dan tidak berbulu dengan panjang 2 mm sampai 3 mm. Buah tegak kadang-kadang pada tanaman hibrid buah merunduk, berbentuk bulat telur, jorong panjang 0,75 mm sampai 1,50 mm. Lebar 2,5 cm sampai 12 cm. Buah muda berwarna hijau tua,putih kehijauan dan putih. Apabila masak berwarna merah terang dan bila setengah masak berwarna hijau rumput (lazim digunakan) (http://toiusd.multiply.com/journal).

1. Air Dalam Cabai Rawit
Air dalam bahan makanan termasuk cabai rawit berupa air terikat, air imbibisi dan air Kristal. Menurut derajat keterkatan air bahan, air terikat dibagi atas empat tipe. Tipe I, adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hydrogen yang berenergi besar. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Tipe II, yaitu molekul-molekul air yang membentuk ikatan hydrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda dari air murni. Jika air tipe ini dihilangkan akan mengakibatkan penurunan aw (water activity). Tipe III, adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimia. Apabila air tipe ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25% dengan aw kira-kira 0,8 tergantung dari jenis bahan dan suhu. Terakhir, tipe IV adalah air yang terikat dalam jaringan suatu bahan atau murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktfan penuh (Winarno, 2004).

2. Pengeringan Cabai Rawit
Menurut Winarno dan Fardiaz (1982), bahwa proses pengeringan merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan air dari bahan dengan cara menguapkannya menggunakan energy panas. Air dalam bahan makanan berupa air terikat, air imbibisi dan air kristal.
Metode pengeringan ada 2 cara, yaitu pengeringan alami dan pengeringan buatan. Pengeringan alami terdiri dari sun drying (pengeringan dengan sinar matahari) dan air drying (pengeringan dengan udara). Untuk sun drying, pengeringan sebaiknya dilakukan di tempat yang udaranya kering dan suhunya lebih dari 100o Fahrenheit. Pengeringan dengan metode ini memerlukan waktu 3-4 hari. Untuk kualitas yang lebih baik, setelah pengeringan, panaskan bahan di oven dengan suhu 175 o Fahrenheit selama 10-15 menit untuk menghilangkan telur serangga dan kotoran lainnya. Sedangkan air drying, pengeringan ini dilakukan dengan cara menggantung bahan di tempat udara kering berhembus. Misalnya di beranda atau di daun jendela. Berbeda halnya dengan pengeringan alami, pengeringan buatan biasanya menggunakan alat pemanas, misalnya alat dehydrator atau menggunakan oven. Pengeringan menggunakan alat dehydrator memerlukan waktu yang lama sekitar jangka waktu 6-10 jam. Waktu pengeringan tergantung dengan jenis bahan yang kita gunakan. Sedangkan menggunakan oven, dengan mengatur panas, kelembaban, dan kadar air, oven dapat digunakan sebagai dehydrator dan waktu yang diperlukan adalah sekitar 5-12 jam. Lebih lama dari dehydrator biasa. Agar bahan menjadi kering, temperature oven harus di atas 140o derajat Fahrenheit (http://jut3x.multiply.com/journal/item/5/Metode_Pengeringan).

B. Tinjauan Tentang Vitamin C
Vitamin C mempunyai nama kimia L-ascorbic Acid (Asam L-Askorbat) dengan massa molekul 176 dan rumus molekulnya adalah C6H8O6. Sifat fisiknya antara lain dalam bentuk Kristal tdak berwarna, titik car 190-1920C, tidak berbau dan berasa masam (Hart, 1990).
Menurut Robinson, (1991) vitamin C adalah salah satu asam gula bebas yang paling penting karena bukan hanya berfungsi sebagai vitamin, tetapi berperan dalam metabolisme tumbuh-tumbuhan. Fungsi yang sudah pasti sebagai koenzim untuk beberapa tioglukosida. Vitamin C dijumpai sebagai kofaktor untuk beberapa enzim hidroksilase. Asam ini merupakan senyawa pereduksi yang kuat.
1. Struktur dan Sifat Vitamin C



Gambar 2.2 Struktur Asam Askorbat

Vitamin C bersifat larut dalam air, sedikit larut dalam aseton atau alcohol yang mempunyai massa molekul rendah. Vitamin C sukar larut dalam kloroform, eter dan benzene. Dengan logam membentuk garam, sifat asam ditentukan oleh ionosasi gugus enol apada atom C nomor 3. Pada pH rendah vitamin C lebih stabil daripada pH tinggi. Vitamin ini mudah teroksidasi lebih-lebih apabila terdapat katalisator Fe dan Cu, enzim askorbat oksidase, sinar, temperature yang tinggi (Sudarmadji, dkk., 1996).
Menurut Linder dan Miller (1992), pada tingkat molekuler, asam askorbat dan dehidroaskorbat mempunyai sifat pereduksi seperti halnya vitamin E, sehingga sering disebut sebagai antioksidan yang mempengaruhi potensial-redoks tubuh. Seperti halnya vitamin E, asam askorbat adalah sebagai sunber reducing equivalent di seluruh tubuh. Tetapi hanya beberapa reaksi enzim sudah diperlihatkan secara khusus membutuhkan vitamin C seperti proses hidroksilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai kofaktor Fe2+ atau Cu2+.

2. Peranan Vitamin C
Menurut Moelharjo (1994) Vitamin C berperan dalam pematangan darh merah, membantu absorpsi besi dalam usus halus, pemeliharaan kadar anormal hemoglobin darah, dan dalam metabolisme asam amino aromatik, telah terbukti bahwa kekurangan Vitamin C menyebabkan tidak dapat dioksidasinya gugus alanina dan tirosina sehingga menyebabkan rendahnya keaktifan suksinat dehidrogenase.
Vitamin C berperan penting dalam hidroksilin prolin dan lisin menjadi hidroksprolin dan hidroksilisn yang merupakan bahan pembentuk kolagen. Adapun peran vitamin ini antara lain: (1) oksidasi fenilalanin menjadi tirosin, (2) reduksi ion ferri menjadi fero dalam saluran pencernaan, (3) mengubah asam folat menjadi bentuk aktif asam folinat, dan (4) sintetase hormone-hormon steroid dari kolesterol. Vitamin C juga berperan menghambat reaks-reaksi oksidasi dalam tubuh yang berlebihan dengan bertindak sebagai inhibitor. Kemampuan vitamin ini untuk melepaskan dan menerima menunjukkan adanya peran yang sangat penting dalam proses metabolisme (Poedjiadi, 2007).

3. Defisiensi/Kekurangan Vitamin C
Kekurangan vitamin C dalam tubuh akan menyebabkan penyakt sariawan atau skorbut. Gejala-gejala skorbut adalah terjadinya pelembekan jaringan tenun kolagen, infeksi dan demam yang menimbulkan sakit, serta pelunakan dan pembengkakan kaki bagian paha. Pada anak yang gigingya telah tumbuh gejalanya berupa gusi membengkak, empuk dan terjadi pendarahan. Sedangkan pada orang dewasa setelah beberapa bulan mengalami kekurangan vitamin C dalam makanannya, gejala-gejalanya berupa pembengkakan dan pendarahan pada gusi, gingvalis, kaki menjadi empuk, anemia dan deformasi tulang. Akibat yang parah dari keadaan ini adalah gigi menjadi goyah dan dapat lepas (Winarno, 2004).

4. Stabilisasi Asam Askorbat
Mapson (1970) dalam haris dan Karmas (1989) menyebutkan bahwa vit yang paling tidak mantap adalah asam askorbat. Retensinya sangat dipengaruhi oleh kehadiran beberapa logam berat seperti tembaga, besi, cahaya, dan oksigen terlarut. Secara kimiawi asam askorbat sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat (Winarno, 1992).
Menurut Haris dan Karmas (19989), kerusakan asam askorbat dapat terjadi karena pengaruh lingkungan dan faktor dari bahan itu sendiri. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kerusakan asan askorbat antara lain:
a. Derajat keasaman atau Ph
Pada keadaan asam (pH < 7) asam askorbat tidak mengalami kerusakan tetapi pada keadaan netral dan basa asam askorbat akan mengalami kerusakan nyata.
b. Udara atau oksigen
Lebih mantap dalam larutan di bawah kondisi anaerob dibandingkan dengan udara bebas. Kerusakan karena adanya oksigen akan dipercepat dengan adanya ion-ion besi dan tembaga.
c. Suhu
Berlangsungnya metabolisme jaringan-jaringan hidup seperti buah-buahan dan sayur-sayuran pada suhu tertentu. Suhu yang memungkinkan metabolisme tersebut berlangsung sempurna disebut suhu optimum. Suhu merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam penyimpanan buah dan sayuran. Buah segar akan layu pada suhu tinggi atau kelembaban rendah yang akan menyebabkan buah kehilangan asam askorbat. Suhu yang tinggi akan menurunkan kadar air dan meningkatkan aktifitas enzim perombak oksidatif asam askorbat dalam metabolisme dan bergabung engan substrat (asam askorbat) karena tidak ada air yang memisahkan, sehingga terjadi kerusakan asam askorbat.
Adapun faktor dari dalam buah yang menyebabkan kerusakan asam askorbat menurut Mapson (1970) dalam Haris dan Kermas (1989) adalah enzim. Terdapat 4 macam enzim yang merombak asam askorbat yaitu asam askorbat oksidase, fenolase, sitokrom oksidasedan peroksidase. Masing-masing enzim ini dapat mengawali perombakan oksidatif asam askorbat, jika faktor luar (lingkungan) tidak terkendali.

C. Metode Titrasi Iodometri
Harga E0 iodium berada pada daerah pertengahan maka system iodium dapat digunakan sebagai oksidator maupun reduktor. Jika harga E0 tidak bergantung pada pH (pH 8) maka persamaan reaksinya,
I2 + 2e- → 2I- E0 = 0,535 V
I2 adalah oksidator lemah sedangkan iodide secara relative merupakan reduktor lemah. Iodium dapat dilarutkan dengan sublimasi. Iodium larut dalam pelarut dalam KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin dan gelap (Khopkar, 2004).
Titrasi dengan Larutan Iod Standar dapat digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam suatu bahan. Hal ini dilakukan karena vitamin C dapat mereduks iod menjadi ion I- (Underwood dan Day, 1996).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Bahan-bahan yang diperlukan
• cabai rawit
• larutan jenuh KI
• larutan amilum 1 %
• kapas
• aquades

B. Alat-alat yang diperlukan
• Tampah
• pisau/silet
• blender
• oven
• labu Erlenmeyer
• neraca analitik
• beaker glass
• cawan
• labu ukur
• corong
• desikator
• seperangkat alat titrasi
• pipet ukur dan pipet tetes

C. Cara kerja
Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap yaitu, pengeringan cabai rawit (Frajnanta, 2003) dan analisis vitamin C (Sudarmadji, 2002).
a. Pengeringan cabai rawit
Pengeringan cabai rawit dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
1) Sortasi bahan
Cabai rawit dicuci dengan air, dibuang tangkainya kemudian ditimbang masing-masing 200 gram untuk tiap sampel peneliitian (sampel cabai control/cabai segar, cabai diangin-anginkan, cabai pengeringan di bawah terik matahari dan cabai oven) dan dipisahkan.
2) Tahap pengeringan
Pengeringan dilakukan dengan 3 cara, yaitu dengan sinar matahari ( selama 3-4 hari), diangin-anginkan ( 5-6 hari) dan dengan oven (suhu 50, 60, dan 700C dengan lama waktu 7 jam).

b. Penentuan kadar vitamn C
Langkah-langkah dalam penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan teknik seperti yang dikemukakan oleh Sudarmadji dkk (1997), sebagai berikut:
1) Cabai rawit yang sudah digiling ditimbang sebanyak 10 gram kemudian ditambahkan 100 ml aquades dan dihancurkan dalam blender.
2) Larutan cabai yang diperoleh disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm.
3) Diambil 25 bagian yang bening dengan pipet kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125 ml ditambahkan 2 ml larutan amilum 1% sebagai indikator.
4) Dilakukan titrasi dengan larutan 0,01 N iodium. setiap ml iodium 0,01 N, sebanding dengan 0,88 mg asam askorbat.
5) Titrasi dihentikan bila telah terbentuk warna biru yang konstan.
6) Kadar vitamin C dihtung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

ISOLASI DAN PENENTUAN KADAR SITRONELAL DARI DAUN SEREH WANGI (Cymbopogan nardus) DENGAN METODE STEAM DISTILLATION

ISOLASI DAN PENENTUAN KADAR SITRONELAL DARI DAUN SEREH WANGI (Cymbopogan nardus) DENGAN METODE STEAM DISTILLATION

1. Latar Belakang
Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik, adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk pengobatan) alami (http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_atsiri).
Indonesia termasuk negara penghasil minyak atsiri dan minyak ini juga merupakan komoditi yang menghasilkan devisa negara. Oleh karena itu pada tahun-tahun terakhir ini, minyak atsiri mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah Indonesia. Sampai saat ini Indonesia baru menghasilkan sembilan jenis minyak atsiri yaitu: minyak cengkeh, minyak kenanga, minyak nilam, minyak akar wangi,minyak pala, minyak kayu putih dan minyak sereh wangi. Dari sembilan jenis minyak atsiri ini terdapat enam jenis minyak yang paling menonjol di Indonesia yaitu: minyak pala minyak nilam, minyak cengkeh dan minyak sereh wangi (Ginting, 2004).
Minyak sereh merupakan komoditi di sektor agribisnis yang memiliki pasaran bagus dan berdaya saing kuat di pasaran luar negeri. Tetapi tanaman sereh ini masih banyak yang belum digarap untuk siap diinvestasi. Sebagai contoh tanaman sereh wangi, tanaman penghasil minyak atsiri yang dalam perdagangan dikenal dengan nama "ei tronella oil". Nama ini masih asing bagi sebagian orang, sebab hampir sepuluh tahun lebih sereh wangi luput dari perbincangan dan perhatian orang (Anonimous, 1988).
Penyebab bau utama yang menyenangkan pada minyak sereh wangi adalah sitronelal, yang merupakan bahan dasar untuk pembuatan parfum, oleh kerena itu minyak sereh dengan kadar sitronelal yang tinggi akan lebih digemari. Jenis minyak yang demikian akan diperoleh dari fraksi pertama penyulingan. Khususnya di Indonesia, minyak sereh wangi yang diperdagangkan diperoleh dengan cara penyulingan daun tanaman Cymbopogon nardus. Untuk keperluan ekspor, minyak sereh harus mempunyai kadar geraniol minimum 85%, kadar sitronelal minimum 35% dan tidak mengandung zat asing (Kardinan,2005).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengisolasi dan mengetahui kadar sitronelal dari daun sereh wangi yang terdapat di pulau Lombok.


2. Metode penelitian
Penyulingan minyak sereh wangi di Indonesia biasanya dilakukan dengan menggunakan uap air (steam distillation) yaitu dengan dua cara, secara langsung dan secara tidak langsung.
Pada penyulingan secara langsung, bahan atau daun sereh wangi yang akan diambil minyaknya dimasak dengan air, dengan demikian penguapan air dan minyak berlangsung bersamaan. Kendati penyulingan langsung seolah-olah memudahkan penanganan tetapi ternyata mengakibatkan kehilangan hasil dan penurunan mutu. Penyulingan langsung dapat mengakibatkan teroksidasi dan terhidrolisis, selain itu menyebabkan timbulnya hasil sampingan yang tidak dikehendaki.
Pada penyulingan secara tidak langsung, yaitu dengan cara memisahkan penguapan air dengan penguapan minyak. Bahan tumbuhan diletakkan ditempat tersendiri yang dialiri uap air, atau secara lebih sederhana bahan tumbuhan diletakkan di atas air mendidih. (Harris, 1987).
Metode yang kami gunakan yaitu steam distillation secara tidak langsung.


3. Alat dan Bahan penelitian
 Alat-alat
- Gelas ukur
- Corong pemisah
- Alat pemanas elektrik
- Neraca analitik
- Erlemmeyer
- Buret
- Pipet volum
- pipet tetes
- Kertas saring
- Kondensor
- Water bath
- Ketel penyulingan
- Kompor gas
- Labu ukur

 Bahan-bahan
- Daun sereh wangi (Cymbopogmn nardus) yang diperoleh dari Sandik, kecamatan batu layar, kabupaten Lombok Barat
- HCl 0,5 N
- Alkohol 95%
- Aquades
- Hidroksi Amonium klorida dalam etanol
- KOH 0,5 N dalam etanol 95%
- Brom fenol blue lart dalam etanol
- Asetat anhidrid 98 - 100%
- Natrium bikarbonat


4. Pelaksanaan Penelitian
4.1 Penyediaan Bahan Penelitian
 Tanaman sereh wangi yang telah berumur kurang lebih enam bulan dipanen (Pemanenan dilakukan dengan memotong helai daun tiga sentimeter di atas pelepah daun)
 kemudian dikering anginkan atau dilayukan selama 3 hari 3 malam.
4.2 Penyulingan
 Daun sereh wangi yang telah dilayukan kemudian dirajang
 300 gram daun sereh wangi yang telah dirajang dimasukkan ke dalam alat penyuling
 diisi air sebanyak 2.250 ml
 alat penyuling dihubungkan dengan kondensor yang dilengkapi dengan sirkulasi air
 hidupkan air pet dan disuling selama 4 jam dengan suhu ± 60 -70 OC
 Cairan hasil kondensasi yang terdiri dari campuran air dan minyak dipisahkan dengan membuka keran tabung



Sumber : c.chamomile.co.uk 1996/2006
Gambar rangkaian alat steam distillation


Isolasi Sitronelal
Untuk mengisolasi kandungan sitronelal, minyak atsiri hasil destilasi direaksikan dengan larutan jenuh natrium bisulfit (NAHSO3) sehingga terbentuk dua lapisan kemudian disaring dengan corong pisah. Endapan putihnya diekstraksi dengan pentana kemudian difiltrasi. Endapan hasil filtrasi direaksikan dengan larutan Na2CO3 untuk memisahkan sitronelal dengan air kemudian disaring.


5. Penentuan Kadar Sitronelal
5.1 Rendemen (%)
Destilat yang dihasilkan ditampung dengan erlenmeyer 500 ml, kemudian dipindahkan keburet untuk memisahkan minyak dengan air. Minyak yang diperoleh ditimbang beratnya dengan neraca analitik.

Rendemen (%) = x 100 %

5.2 Total Citonellal (%)
 20 ml larutan hidroksil amin klorida ditambah 10 ml larutan KOH 0,5 N alkoholik dan dimasukkan ke dalam sebuah labu erlemmeyer
 campuran ini dituangkan ke dalam erlemmeyer yang berisi 0,8 gr minyak.
 Kemudian erlemmeyer yang bekas larutan tadi disimpan dengan tanpa mencucinya
 campuran dan minyak ditambahkan brom fenol blue 2 tetes
 dititrasi dengan 0,5N HCl sampai terjadi warna kuning kehijau-hijauan
 kemudian dipindahkan separuh dari campuran ini ke dalam erlemmeyer yang disimpan tadi
 titrasi dengan HCl 0,5 N sampai terjadi warna kuning muda
 dipindahkan lagi ke dalam labu yang satu lagi, dan dicampur
 dikembalikan lagi separuh dari larutan ke dalam erlemmeyer yang satu lagi
 titrasi lagi dengan HCl 0,5 N
 dilanjutkan cara ini sampai suatu saat penambahan 0,5 N HCl ke dalam erlemmeyer tidak lagi menimbulkan perubahan warna bila dibandingkan dengan warna larutan yang terdapat didalam erlemmeyer ke dua,
 kemudian buat blankonya ( 0,8 g minyak ditambah dengan 2 tetes brom fenol blue kemudian dititrasi dengan 0,5 N)

Total Citronellal (%) = fk

M = Berat molekul citronellal
m = Massa minyak
V0 = Volume 0,5 N HCl untuk penentuan
V1 = Volume 0,5 N HCl untuk blanko
fk = 0,8892

sumber : Sentosa Ginting, 2004

analisis logam Ca

ANALISIS LOGAM Fe, Cu, Ca dan Zn DALAM DARAH MANUSIA SEBAGAI STUDI AWAL PENCEGAHAN TERHADAP
DEFISIENSI MINERAL

METODE PENELITIAN

 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
 Timbangan Analitik
 Oven pengering
 Furnase (Untuk pengabuab / sistem kering
 Pelarut
 Cangkir porselen 100 ml
 Erlenmeyer 50 ml
 Gelas ukur 50 ml dan 100 ml
 Pipet volumetrik
 Pipet biasa
 Corong plastik polietilen
 Pemanas (hotplate)
 Spektrofotometer Serapan Atom (AAS)

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
 Asam nitrat pekat 65%
 Asam nitrat 10%
 Kertas saring Whatman 42
 Sampel darah (whole blood)
 Aquabides / demineralisasi aquades
 Standar larutan logam 1000 ppm
 Standar darah dari IAEA


 Prosedur
Ada tiga jenis sampel darah yang dapat di analisis dalam penentuan logam ini, yaitu plasma darah, serum, dan darah keseluruhan (whole blood). Yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel yang berupa darah keseluruhan (whole blood). Karena sampel yang digunakan adalah darah keseluruhan, maka diperlukan digesti terlebih dahulu. Ada dua cara untuk digesti suatu sampel yaitu digesti basah dan digesti kering. Berikut prosedurnya:
Digesti Basah
Sampel darah dengan berat 1-2 gram dimasukkan dalam gelas Erlenmeyer, kemudian ditambah dengan asam nitrat (HNO3) pekat sebanyak 10 ml dan ditutup dengan gelas arloji. Kemudian dipanaskan di atas hotplate pada suhu 115oC selama sekitar 8-10 jam sampai warnanya menjadi putih, lalu tutup dibuka supaya menguap dan kering. Sampel kering tersebut dilarutkan dalam HNO3 10% sebanyak 5-10 ml tergantung dari berat sampel yang diperoleh, dan dibaca melalui mesin AAS.
Digesti Kering
Sampel darah dimasukkan ke dalam cangkir porselen bersih kemudian dikeringkan. Tambahkan 8 ml 65% supra pure asam nitrat (HNO3), kemudian dipanaskan di atas hotplate pada temperature sekitar 75oC selama 3 jam atau lebih dan dibiarkan mongering. Larutkan dalam 10% asam nitrat, disaring melalui kertas saring Whatman 42 dan dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 ml dengan menggunakan corong plastic polietilen. Bilas dengan aquabides dan buat larutan menjadi 50 ml, kemudian dianalisis dengan AAS.

Penyiapan Larutan Standar
- Dibuat larutan standar 1000 ppm dari masing-masing logam yang akan dianalisis.
- Mengencerkan larutan standar menjadi berbagai konsentrasi: 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm untuk membuat kurva kalibrasi.
- Diukur serapan larutan standar dengan AAS pada panjang gelombang standar untuk masing-masing logam.
Pengukuran Sampel
Sampel di analisa dengan AAS dengan panjang gelombang yang disesuaikan dengan panjang gelombang yang disesuaikan.

analisi kimia